A. Pengertian Hukum syara
Hukum
syara adalah seperangkat peraturan berdasarkan ketentuan Allah tentang
tingkah laku manusia yang diakui dan diyakini berlaku serta mengikat
untuk semua umat yang beragama Islam.
B. Pembagian Hukum Syara
Hukum syara terbagi dua macam:
a.
Hukum taklifi adalah firman Allah yang menuntut manusia untuk melakukan
atau meninggalkan sesuatu atau memilih antara berbuat atau
meninggalkan.
b. Hukum wadh’i adalah firman Allah swt. yang menuntuk
untuk menjadikan sesuatu sebab, syarat atau penghalang dari sesuatu yang
lain.
C. Bentuk-Bentuk Hukum Syara
Bentuk-bentuk
hukum taklifi menurut jumhur ulama ushul fiqih/mutakallimin ada lima
macam, yaitu ijab, nadb, ibahah, karahah dan tahrim.
a. Ijab, adalah
tuntutan syar’i yang bersifat untuk melaksanakan sesuatu dan tidak boleh
ditinggalkan. Orang yang meninggalkannya dikenai sanksi. Misalnya,
dalam surat An-Nur: 56 yang artinya: “Dan dirikanlah sholat dan tunaikan
zakat….”
b. Nadb adalah tuntutan untuk melaksanakan sesuatu
perbuatan yang tidak bersifat memaksa, melainkan anjuran, sehingga
seseorang tidak dilarang meninggalkannya. Misalnya: dalam surah
al-Baqarah ayat 282 yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila
kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan,
hendaklah kamu menuliskannya….”
Kalimat maka tuliskanlah olehmu”,
dalam ayat itu pada dasarnya mengandung perintah, tetapi terdapat
indikasi yang memalingkan perintah itu kepada Nadb yang terdapat dalam
kelanjutan dari ayat tersebut (al-Baqarah: 283), yang artinya: “Akan
tetapi, apabila sebagian kamu mempercai sebagian yang lain, hendaklah
yang dipercaya itu menunaikan amanatnya….”
Tuntutan perintah dalam
ayat itu, berubah menjadi nadb. Indikasi yang membawa perubahan ini
adalah kelanjutan ayat, yaitu Allah menyatakan jika ada sikap saling
mempercayai, maka penulisan utang tersebut tidak begitu penting.
Tuntutan Allah seperti disebut dalam Nadb.
c.
Ibahah adalah khitab Allah yang bersifat fakultatif mengandung pilihan
antara berbuat atau tidak berbuat atau tidak berbuat secara sama. Akibat
adai khitab Allah ini disebut juga dengan ibahah, dan perbuatan yang
boleh dipilih itu disebut mubah. Misalnya firman Allah dalam surah
al-Maidah ayat 2, yang artinya: “Apabila kamu telah selesai melaksanakan
ibadah haji bolehlah kamu berburu”.
d. Karanah,adalah tuntutan untuk
meninggalkan suatu perbuatan, tetapi tuntutan itu diungkapkan melalui
redaksi yang tidak bersifat memaksa. Dan seseorang yang mengerjakan
perbuatan yang dituntut untuk ditinggalkan itu tidak tidak dikenai
hukuman. Akibat dari tuntutan ini disebut juga karanah, misalnya hadis
Nabi Muhammad saw. yang artinya: “perbuatan halal yang paling dibenci
Allah adalah talak.” (HR. Abu Daud, Ibn Majah, Al-Baihaqi dan Hakim).
e.
Tahrim adalah tuntutan untuk tidak mengerjakan suatu perbuatan dengan
tuntutan yang memaksa. Akibat dari tuntutan ini disebut hurmah dan
perbuatan yang dituntut itu disebut dengan haram. Contoh memakan bangkai
dan sebagainya. Misalnya, firman Allah dalam surah Al-An’am: 151,
tentang larangan membunuh. Yang artinya: “Jangan kamu membunuh jiwa yang
telah diharamkan Allah…..”
Khitab ayat ini disebut dengan tahrim,
akibat dari tuntutan ini disebut hurmah, dan perbuatan yang dituntut
untuk ditinggalkan, yaitu membunuh jiwa seseorang disebut dengan haram.
D. Macam-Macam Hukum Wadh’i
a.
Sebab, adalah suatu hukum yang dijadikan syar’i sebagai tanda adanya
hukum. Misalnya dalam firman Allah dalam surat al-Isra: 78, yang
artinya: “Dirikanlah shalat sesudah matahari tergelincir.”
Pada ayat tersebut, tergelincir matahari dijadikan sebab wajibnya shalat.
b.
Syarat, adalah sesuatu yang berada diluar hukum syara’tetapi keberadaan
hukum syara bergantung kepadanya. Misalnya firman Allah dalam surat
an-Nisa: 6 yang artinya: “Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup
umur untuk kawin (dewasa).”
Ayat tersebut menunjukan kedewasaan anak yatim menjadi syarat hilangnya perwalian atas dirinya.”
c.
Mani’ (penghalang), adalah sifat yang keberadaannya menyebabkan tidak
ada hukum atau tidak ada sebab. Misalnya dalam hadis nabi yang berbunyi:
“Pembunuh tidak memdapat waris.”
Hadis tersebut menunjukkan bahwa pembunuhan sebagai penghalang untuk mendapatkan warisan.
d. Shahih, adalah suatu hukum yang sesuai dengan tuntutan syara, yaitu terpenuhnya sebab, syarat dan tidak ada mani.
e.
Bathil, adalah terlepasnya hukum syara dari ketentuan yang ditetapkan
dan tidak ada akibat hukum yang ditimbulkannya. Misalnya:
memperjualbelikan minuman keras. Akad ini dipandang batal, karena
minuman keras tidak bernilai harta dalam pandangan syara’.
E. OBJEK HUKUM (MAHKUM BIH)
Objek hukum atau mahkum nih yaitu perbuatan mukallaf yang bersangkutan dengan hukum syar’i.
Adapun syarat-syarat untuk suatu perbuatan sebagai objek hukum menurut para ahli Ushul Fiqh adalah sebagai berikut:
1.
Perbuatan itu sah dan jelas adanya; tidak mungkin memberatkan seseorang
melakukan sesuatu yang tidak mungkin dilakukan seperti mencat langit.
2.
Perbuatan itu tertentu adanya dan dapat diketahui oleh orang yang akan
mengerjakan serta dapat dibedakan dengan perbuatan lainnya.
3. Perbuatan itu sesuat yang mungkin dilakukan oleh mukallaf dan berada dalam kemampuannya untuk melakukannya.
F. SUBJEK HUKUM (MAHKUM ‘ALAIH)
Subjek
hukum atau pelaku hukum ialah orang-orang yang dituntut oleh Allah
untuk berbuat, dan segala tingkah lakunya telah diperhitungkan
berdasarkan tuntutan Allah.
Adapun syarat-syarat taklif atas subjek hukum, adalah sebagai berikut:
1. Ia memahami atau mengetahui titah Allah tersebut yang menyatakan bahwa ia terkena tuntutan dari Allah.
2. Ia telah mampu menerima beban taklif atau beban hukum.
3. Ahliyah al-Ada Kamilah atau cakap berbuat hukum secara sempurna, yaitu manusia yang telah mencapai usia dewasa.
G. PEMBUAT HUKUM (HAKIM)
Pembuat
hukum (syar’i) dalam pengertian Islam adalah Allah SWT. Dia menciptakan
manusia di atas bumi ini dan Dia pula yang menetapkan aturan-aturan
bagi kehidupan manusia, baik dalam hubungannya dengan kepentingan hidup
di dunia maupun untuk kepentingan hidup di akhirat; baik aturan yang
menyangkut hubungan manusia dengan Allah, maupun hubungan manusia dengan
sesamanya dan alam sekitarnya.
Dari uraian di atas dapat dipahami
bahwa pembuat hukum (syar’i) satu-satunya bagi umat Islam adalah Allah.
Sebagaimana ditegaskan firman Allah dalam surat al-An’am: 57, Yusuf: 40
dan 67 yang artinya: “Sesungguhnya tidak ada hukum kecuali bagi Allah.”
http://makalah85.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar