Kebisingan dalam kelas kala itu yang
menyambutku. Mereka sibuk dengan perkenalan diri satu dengan yang lainnya.
Sedang aku? Aku hanya menempel dengan teman-teman yang sudah kukenal
sebelumnya. Ya, saat itu aku pemalu, sulit untuk bersosialisasi. Tidak PD sih lebih tepatnya.
Andini dan aku memilih barisan yang didominasi
oleh kaum hawa, sedang baris lainnya, khususnya barisan ujung, bak benteng bagi
kaum adam yang “rajin”, “pendiam”, dan sifat-sifat “baik” lainnya.
Membayangkannya saja sudah membuatku bergidik.
Sisi demi sisi kelas kuperhatikan dengan
lekat. Mencoba berdaptasi dengan suasana baru ini. Wajah-wajah teman
kuperhatikan satu demi satu seraya menerka sifat mereka. Namun seketika
kebisingan itu berubah dengan suara Sssuut
sssutt diiringi dengan kerusuhan mereka dalam mencari tempat duduk. Ada apa?
“Assalamu’alaikum..
Siang anak-anak..”
“Wa’alaikumussalam..”
Jawab kami serempak.
“Ini kelas 8.7? Kelasnya pindah, ya. Disana, yang dekat
lapangan” jelas Pak Tono.
Kami pun sibuk mengikuti arah gerak tangan beliau yang
menunjuk dua kelas di sisi lapangan. Yang
mana, sih? Kanan? Kiri? Bisik-bisik seisi kelas terdengar sangat jelas.
“Kalian langsung kesana, ya.. Wassalamu’alaikum”
Pamitnya beliau diiringi oleh kerusuhan kami yang
berusaha menerobos pintu. Tak sedikit dari kami yang berlarian demi mendapatkan
tempat duduk ‘strategis’.
“Din, kita dapet kursi bagian tengah” Euphoria yang tak
terbendung langsung kutunjukkan pada Dini yang saat itu masih berjibaku
melewati kerumunan orang yang sedang sibuk mencari tempat duduk. Dini tampak
senang ketika mengetahui aku sudah mencapai ‘finish’. Langkahnya makin mantap untuk menerobos dinding manusia
itu.
“Yeah.. yeah……” Euphoria
Dini tak kalah seru ketika sudah sampai ke tempat duduk kami.
Selang
beberapa menit, seorang guru wanita berkacamata memasuki kelas kami. Seketika
kelas menjadi hening.
“Assalamu’alaikum… Ini 8.7? Sudah pada kenal saya, ‘kan?”
“Sudah, Bu.”
“Ini barisannya
kok gini, ya? Nggak rapih. Ini perempuan
semua, yang itu laki-laki semua. Dirapikan ya”
Perintah Bu Marni mendapat respon yang beragam. Dari
yang apatis, kritis hingga anarkis. Saat itu, aku berharap yang terbaik.
“Kamu, ya, kamu”
Lamunanku buyar saat Bu Marni menunjuk ke arah kami.
Ya, kami.
“Pindah ke kursi belakang yang disana ya.”
Pandanganku langsung meluncur ke arah
target. Disana??? Ya, disanalah
tempat yang tadi kusebut ‘benteng’. Astaghfirullaah.
Dengan langkah gontai kami menuju ‘benteng’ itu.
Aku meraba-raba mimik wajah orang-orang
disekitarku. Jadi, konsep tempat duduk dikelas ini adalah selang-seling antar
laki-laki dan perempuan. Biar akrab (katanya). Mau tidak mau kami berkenalan
dengan ‘tetangga’ yang duduk didepan kami.
“Hey.. Kenalan dong. Kalian siapa? Gue Andini.”
Dini dengan ramahnya memulai percakapan. Satu dari
mereka merespon.
“Gue Yudhi, ini teman gue Aldi.”
“Gue Tira.”
Sejak saat itu kami berempat makin dekat.
Dengan alibi “Tulisan Tidak Terlihat”, Yudhi dan Aldi selalu mengandalkan kami
jika ada pelajaran yang mengharuskan mencatat materi, juga berbagi jawaban PR. Setiap
harinya selalu ada tawa yang menghiasi wajah kami. Ya, kami menjadi akrab.
***
“Eh.. eh, Di.. Tau nggak? Tira tuh suka sama lo.” Tukas
seorang teman yang membalas keisenganku dengan membeberkan rahasia yang selama
ini kusimpan.
“Ih, engga… enggak, Males banget ih suka sama dia.” Respon-ku
spontan.
Hah?
Apa yang kukatakan barusan? Setelah
kalimat itu meluncur, tak henti-hentinya aku mengutuk diri seraya memandangi
punggung Aldi. Tampak belakang dia terlihat santai. Aldi maaf…. Bisikku dalam hati, berharap dapat terdengar olehnya.
Bicara mengenai Cinta, aku mengibaratkan
itu sebagai “Jumping Love”. Hanya
dengan mendengar namanya, membayangkan mimic wajahnya, mengingat memori tentangnya,
detak jantung dan denyut nadi beriringan dengan merdunya. Lup Dup Lup Dup. Seperti ada sesuatu yang melompat-lompat dihatiku.
Tak jarang pendangan kami terpaut di
sepersekian detik yang kemudian kami hempaskan jauh-jauh dan berpura-pura tidak
ada yang terjadi.
Pernah suatu hari, saat pertama kalinya ia
memberikan emoticon diakhir teksnya.
Sungguh, itu membuatku bahagia sekali. Mungkin saat itu aku gila, bahagia hanya
karena melihat ‘titik dua kurung tutup’.
Dengan dipisahkan oleh satu buah meja dan
beberapa senti sandaran kursi, dia masih terasa jauh untuk kugapai. Ya, aku
menyukainya entah sejak kapan. Aku sempat menolak perasaan ini, tapi apa daya.
Perasaan ini makin kuat. Entah karena apa.
Sebagian teman dekatku mengetahui hal ini.
Tak jarang mereka meng-coding Aldi.
Namun sepertinya ‘kode’ yang ditujukan berlebihan, bukannya mendekat,
bayangannya hanya menjadi sesuatu yang maya untukku. Ia pindah tempat duduk.
Dan jarang merespon sms-ku lagi.
Mungkin selama ini aku terlalu
menggegamnya. Menutup erat ia di dalam ruangan gelap yang tak ber-ventilasi.
Cinta tidak seperti itu, Tira. Cinta
membutuhkan nafas. Ia tak akan bertahan jika kau tak memberikan sedikit pun
celah untuknya.
Dan yang kudapat sekarang hanya memori berupa
siluet ekpresinya dan beberapa potong adegan ‘mengesankan’ sejak perasaan itu
hadir.
Cinta itu sederhana. Sesederhana saat kau
merasakan bahwa ia ada, ia hadir, dan ia nyata.
Based on True Story
(Nama tokoh disamarkan)