Sabtu, 31 Januari 2015

Cinta 1/2 Meter



Kebisingan dalam kelas kala itu yang menyambutku. Mereka sibuk dengan perkenalan diri satu dengan yang lainnya. Sedang aku? Aku hanya menempel dengan teman-teman yang sudah kukenal sebelumnya. Ya, saat itu aku pemalu, sulit untuk bersosialisasi. Tidak PD sih lebih tepatnya.
Andini dan aku memilih barisan yang didominasi oleh kaum hawa, sedang baris lainnya, khususnya barisan ujung, bak benteng bagi kaum adam yang “rajin”, “pendiam”, dan sifat-sifat “baik” lainnya. Membayangkannya saja sudah membuatku bergidik.
Sisi demi sisi kelas kuperhatikan dengan lekat. Mencoba berdaptasi dengan suasana baru ini. Wajah-wajah teman kuperhatikan satu demi satu seraya menerka sifat mereka. Namun seketika kebisingan itu berubah dengan suara Sssuut sssutt diiringi dengan kerusuhan mereka dalam mencari tempat duduk. Ada apa?
Assalamu’alaikum.. Siang anak-anak..”
Wa’alaikumussalam..” Jawab kami serempak.
“Ini kelas 8.7? Kelasnya pindah, ya. Disana, yang dekat lapangan” jelas Pak Tono.
Kami pun sibuk mengikuti arah gerak tangan beliau yang menunjuk dua kelas di sisi lapangan. Yang mana, sih? Kanan? Kiri? Bisik-bisik seisi kelas terdengar sangat jelas.
“Kalian langsung kesana, ya.. Wassalamu’alaikum”
Pamitnya beliau diiringi oleh kerusuhan kami yang berusaha menerobos pintu. Tak sedikit dari kami yang berlarian demi mendapatkan tempat duduk ‘strategis’.
 Din, kita dapet kursi bagian tengah” Euphoria yang tak terbendung langsung kutunjukkan pada Dini yang saat itu masih berjibaku melewati kerumunan orang yang sedang sibuk mencari tempat duduk. Dini tampak senang ketika mengetahui aku sudah mencapai ‘finish’. Langkahnya makin mantap untuk menerobos dinding manusia itu.
Yeah.. yeah……” Euphoria Dini tak kalah seru ketika sudah sampai ke tempat duduk kami.
                Selang beberapa menit, seorang guru wanita berkacamata memasuki kelas kami. Seketika kelas menjadi hening.
“Assalamu’alaikum… Ini 8.7? Sudah pada kenal saya, ‘kan?”
“Sudah, Bu.”
 “Ini barisannya kok  gini, ya? Nggak rapih. Ini perempuan semua, yang itu laki-laki semua. Dirapikan ya”
Perintah Bu Marni mendapat respon yang beragam. Dari yang apatis, kritis hingga anarkis. Saat itu, aku berharap yang terbaik.
“Kamu, ya, kamu”
Lamunanku buyar saat Bu Marni menunjuk ke arah kami. Ya, kami.
“Pindah ke kursi belakang yang disana ya.”
Pandanganku langsung meluncur ke arah target. Disana??? Ya, disanalah tempat yang tadi kusebut ‘benteng’. Astaghfirullaah. Dengan langkah gontai kami menuju ‘benteng’ itu.
Aku meraba-raba mimik wajah orang-orang disekitarku. Jadi, konsep tempat duduk dikelas ini adalah selang-seling antar laki-laki dan perempuan. Biar akrab (katanya). Mau tidak mau kami berkenalan dengan ‘tetangga’ yang duduk didepan kami.
“Hey.. Kenalan dong. Kalian siapa? Gue Andini.”
Dini dengan ramahnya memulai percakapan. Satu dari mereka merespon.
“Gue Yudhi, ini teman gue Aldi.”
“Gue Tira.”
Sejak saat itu kami berempat makin dekat. Dengan alibi “Tulisan Tidak Terlihat”, Yudhi dan Aldi selalu mengandalkan kami jika ada pelajaran yang mengharuskan mencatat materi, juga berbagi jawaban PR. Setiap harinya selalu ada tawa yang menghiasi wajah kami. Ya, kami menjadi akrab.
***
“Eh.. eh, Di.. Tau nggak? Tira tuh suka sama lo.” Tukas seorang teman yang membalas keisenganku dengan membeberkan rahasia yang selama ini kusimpan.
“Ih, engga… enggak, Males banget ih suka sama dia.” Respon-ku spontan.
Hah? Apa yang kukatakan barusan? Setelah kalimat itu meluncur, tak henti-hentinya aku mengutuk diri seraya memandangi punggung Aldi. Tampak belakang dia terlihat santai. Aldi maaf…. Bisikku dalam hati, berharap dapat terdengar olehnya.
Bicara mengenai Cinta, aku mengibaratkan itu sebagai “Jumping Love”. Hanya dengan mendengar namanya, membayangkan mimic wajahnya, mengingat memori tentangnya, detak jantung dan denyut nadi beriringan dengan merdunya. Lup Dup Lup Dup. Seperti ada sesuatu yang melompat-lompat dihatiku.  
Tak jarang pendangan kami terpaut di sepersekian detik yang kemudian kami hempaskan jauh-jauh dan berpura-pura tidak ada yang terjadi.
Pernah suatu hari, saat pertama kalinya ia memberikan emoticon diakhir teksnya. Sungguh, itu membuatku bahagia sekali. Mungkin saat itu aku gila, bahagia hanya karena melihat ‘titik dua kurung tutup’.
Dengan dipisahkan oleh satu buah meja dan beberapa senti sandaran kursi, dia masih terasa jauh untuk kugapai. Ya, aku menyukainya entah sejak kapan. Aku sempat menolak perasaan ini, tapi apa daya. Perasaan ini makin kuat. Entah karena apa.
Sebagian teman dekatku mengetahui hal ini. Tak jarang mereka meng-coding Aldi. Namun sepertinya ‘kode’ yang ditujukan berlebihan, bukannya mendekat, bayangannya hanya menjadi sesuatu yang maya untukku. Ia pindah tempat duduk. Dan jarang merespon sms-ku lagi.
Mungkin selama ini aku terlalu menggegamnya. Menutup erat ia di dalam ruangan gelap yang tak ber-ventilasi.
Cinta tidak seperti itu, Tira. Cinta membutuhkan nafas. Ia tak akan bertahan jika kau tak memberikan sedikit pun celah untuknya.
Dan yang kudapat sekarang hanya memori berupa siluet ekpresinya dan beberapa potong adegan ‘mengesankan’ sejak perasaan itu hadir. 
Cinta itu sederhana. Sesederhana saat kau merasakan bahwa ia ada, ia hadir, dan ia nyata.


Based on True Story
(Nama tokoh disamarkan)